LENTERA DARI TIMUR

Bismillah
Alhamdulillah

Cerita tentang sekelompok masyarakat yang memeluk islam dari dakwah seorang da’i dan beberapa temannya melalui sabun mandi, boleh di katakan sudah terbilang lama saya dengar, tetapi belum ku ketahui secara gamblang alur ceritanya dan siapakah sebenarnya tokoh yang memerani cerita itu.

Dengan bergulirnya waktu, cerita itupun hampir saja saya lupakan. Alhamdulillah, pada hari senin tanggal 05 Maret 2018 lalu, kembali saya di ingatkan dengan cerita itu dari salah seorang da’i bernama ustadz Fadlan Garamata melalui sebuah muhadhorah ba’da subuh di masjid anas bin malik STIBA Makassar.

Dan yang lebih menakjubkan lagi adalah ternyata yang bercerita, itulah sang tokoh dalam cerita itu. Gembira dan syukur kurasakan karena bisa mendengarkan kisah itu dari lisan orang yang melakoninya, dan juga melihat secara langsung sang pahlawan yang telah menyalakan lentera-lentera islam di negeri timur indonesia sebagai penerang jalan menuju Allah ta'ala Sang Penguasa jagad raya.

Sepenggal kisah yang sempat beliau ceritakan pada kesempatan kali ini begitu membuat semangat kembali menunjukkan kobarannya untuk bangkit menyebarkan islam, agama rahmatan lil’alamin. Karena islam-lah satu-satunya agama yang bisa mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya keselamatan dunia dan akhirat.

Berikut sepenggal cerita yang sempat ustadz Fadlan ceritakan:

Setelah menyelesaikan pendidikan di salah satu kampus di kota Makassar, Ustadz Fadlan Garamata kembali ke daerah asalnya “Irian Jaya” untuk mengabdi menyalurkan ilmu-ilmu yang telah ia dapatkan di Makassar. Kepulangannya di sambut oleh Gubernur yang kebetulan mereka berdua satu kampung, dan langsung di berikan rumah dinas, mobil dinas, baju dinas dan gaji, dalam artian Beliau langsung di PNS -kan oleh pemerintah setempat.

Setelah 1 tahun 9 bulan Ust Fadlan mengundurkan diri dari PNS (pegawai negeri sipil) masuk ke PNS yaitu “pegawai Nabi shalallahu alaihi wa salam” yaitu berdakwah. Setelah menjadi da’i beliau mulai memikirkan langkah-langkah untuk berdakwa. Pertama kali yang menjadi sasaran objek dakwahnya adalah Alfon, pendeta di daerah itu, karena semenjak kepulangannya dari Makassar beliau mendengar bahwa pendeta Alfon mulai membangun kekuatan gereja untuk mengusir Ustadz Fadlan. Sudah berklali-kali pengusiran dilakukan namum Ustadz Fadlan tetap menguatkan pendiriannya untuk tinggal dan menyalakan lentera-lentera islam di daeranya.

Usai sholat subuh, aksi dakwah Ustadz Fadlan di mulai. Dengan berjalan kaki menuju kediaman pendeta Alfon. Dari kejauhan beliau telah melihat pendeta sedang lari pagi, seketika sang ustadz mempercepat langkahnya menuju pendeta Alfon. Melihat keadaan itu pendeta Alfon langsung masuk kerumah dengan menutup rapat pintu pagar dan pintu rumahnya. Setelah sampai, sang ustadz menunggu diluar, namun pendeta tak kunjung keluar, lantas kemudian Ustadz Fadlan masuk dan mengetuk pintu seraya menyapa “selamat pagi”, yang keluar adalah istri pendeta. Mohon maaf ibu, saya ingin bertemu dengan pendeta Alfon”, istri pendeta menjawab “maaf, pendeta sedang tidak ada di rumah”. Sang ustadz pun langsung pulang.

Besoknya ustadz Fadlan kembali datang mengetuk pintu rumah pendeta dengan sapaan yang sama. Anak tertua pendeta keluar sembari berkata, maaf, pendeta tidak ada dirumah. Kemudian pulang dan besoknya (hari ke-3 bulan pertama) beliau datang lagi seperti hari-hari sebelunya namun lagi-lagi selalu mendapat jawaban bahwa pendeta Alfon tidak ada dirumah. Kegiatan seperti ini beliau lakukan hingga genap satu bulan, tetapi hasilnya masih nihil. Walaupun begitu ustadz Fadlan tidak berputus asa. Memasuki bulan kedua pada hari pertama beliau kembali datang mengetuk pintu rumah pendeta, akan tetapi tidak pernah bertemu dengan orang yang di tujunya. Hari ke-2, ke-3, ke-4, hingga hari ke-14 beliau tetap pergi walaupun selalu mendapatkan hasil seperti sebelumnya. Di saat hari ke-15 bulan kedua, istri dan anak-anak pendeta sudah menunggu di luar. Ketika ustadz Fadlan datang dan menyapa “selamat pagi” langsung di sambar dengan perkataan “bapak ini tidak bosan datang di rumah ini, kami sudah bilang pendeta tidak ada di rumah, masih saja mau datang kesini”. Mendengar itu sang ustadz tidak berkata-kata dan langsung pulang. Dihari ke-16,17,18 hingga genap bulan kedua, beliau tetap datang mengetuk pintu rumah pendeta tetapi masih saja belum membuahkan hasil.

Bulan ketiga hari pertama ustadz Fadlan tetap beraksi dengan misinya, namun hasilnya tetap seperti dengan hari-hari sebelumnya. Begitu hari ke-3 bulan ketiga jawaban sudah berbeda dengan sebelumnya bahwa “mohon maaf pak, pak pendeta semalam jatuh sakit dan sekarang sudah di rumah sakit” mendengar itu ustadz Fadlan langsung memuji Allah ta’ala dalam hatinya dengan mengucapakan “alhamdulillah” dan langsung menuju rumah sakit untuk mencari tahu keadaan yang sebenarnya. “Benarkah pendeta Alfon masuk rumah sakit semalam”? Tanya ustadz Fadlan kepada bagian informasi pada rumah sakit. Dan mereka membenarkan, lantas kemudian sang ustadz keluar membeli buah terlebih dahulu untuk pendeta. Setelah itu langsung menuju kamar 48 tempat pendeta Alfon di rawat. Kemudian beliau mengetuk pintu dan menyapa “selamat pagi”, langsung terdengar suara istri pendeta dari dalam “pagi” silahkan masuk. Kemudian ustadz Fadlan pelan-pelan membuka pintu dan menutup wajahnya dengan parsel buah yang di belinya sambil berjalan kedepan, setelah melihat kaki istri pendeta, beliu menurunkan parselnya dan berkata “saya dapat kabar bahwa pak pendeta jatuh sakit dan saya beli buah ini untuk pak pendeta, kalau ia bangun sampaikan salam hormat saya bahwa tadi Fadlan datang”.

Dalam keadaan ustadz Fadlan berbincang-bincang dengan istri pendeta, tiba-tiba terdengar suara “selamat pagi pak Fadlan” ternyata pak pendeta Alfon sudah bangun dari tidurnya. Kemudian ustadz Fadlan menyalami pendeta dan berkata “Abang, hari ini sungguh sangat luar biasa saya mendapatkan rahmat dari Allah ta’ala, alhamdulillah, karena saya sudah cari Abang 2 bulan 3 hari. Sebenarnya abang ini tidak sakit, tapi abang mendidik anak dan istri untuk berbohong dari hari kehari selama 2 bulan 3 hari. Itu yang menjadi penyakit abang, supaya saya ketemu di rumah sakit ini. Disisi lain abang bicara “cinta kasih” di gereja, sementara keluarga di didik untuk menjadi pembohong. Tidak boleh mengulangi perbuatan ini lagi”. Kemudian ustadz Fadlan pamit pulang. Lima hari kemudian pak pendeta sembuh dan pulang kerumah. Hari ke-6 ustadz Fadlan menjadi tamu pertama dirumah pendeta Alfon dan menyapa dari luar “selamat pagi”, pendeta Alfon bersama istri dan 7 anaknya membuka pintu dan mempersilahkan masuk. Disaat itulah ustadz Fadlan mulai bercerita kepada mereka tentang indahnya islam bagi seluruh alam semesta. Dari jam 10 pagi hingga jam 12 siang bercerita, ustadz Fadlan kemudian pamit pulang dan pendeta Alfon mengantarnya hingga di pintu pagar seraya mengatakan “pak Fadlan, usahakan besok datang lebih pagi lagi”.

Dihari esok ustadz Fadlan menuruti permintaan pendeta Alfon. Beliau datang dari jam 7 pagi, kemudian bercerita tentang islam hingga waktu ashar tiba. Beliau lakukan pekerjaan seperti ini selama 5 hari berturut-turut. Menjelang waktu ashar di hari ke-5 pendeta Alfon bersama istri dan ketujuh anaknya menyatakan sikap untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah selesai menuntun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, ustadz Fadlan sujud syukur dan menangis kepada Allah ta’ala atas karunia itu. Lalu untuk memudahkan sang ustadz dalam menuntun mereka belajar al qur’an dan sholat 5 waktu, beliau menyewa rumah yang lebih luas dan memindahkan mereka di sana.

Nama Alfon kemudian diganti dengan nama Abu Sofyan. Subhanallah, begitu hari jum’at tiba Abu Sofyan bersama anak laki-lakinya sudah bersama-sama dengan kaum muslimin melaksanakan solat jum’at dan hari-hari sudah mulai belajar sholat. Tapi ketika hari minggu tiba, orang-orang masih menunggu Abu Sofyan di gereja dari jam 6 pagi hingga jam 11 siang. Abu Sofyan tidak mungkin lagi ke gereja karena Ia sudah memeluk agama islam. Ribut Jaya Pura, bahwa ustadz Fadlan di cari, kemudian di tangkap tanpa proses langsung di masukan dalam penjara selama 3 bulan.

Setelah ustadz Fadlan keluar dari penjara kembali menyerukan bahwa “kita harus tetap melanjutkan pekerjaan ini (berdakwah)”. Setelah beliau menyalakan lentara islam di rumah Abu Sofyan (dulu pendeta Alfon), bergeser kedaerah tetangga yang berjarak kurang lebih 179 km dari kampungnya dengan tujuan membagi-bagi warisan Nabi shalallahu’alaihi wasalam. Kedatangan para da’i ternyata sudah diketahui oleh penduduk daerah tujuan dakwah dan mereka sudah mulai membangun permusuhan.

Pertama kali yang dilakukan oleh ustadz Fadlan dan teman-temannya ketika sampai adalah mendatangi rumah kepala suku daerah setempat. Tenyata kepala suku sudah berdiri menyambut mereka dibalik pintu dengan tombak yang sudah siap di hempaskan. Ketika hendak menemui kapala suku, tiba-tiba tombak melayang dan mengenai betis kiri ustadz Fadlan, seketika para da’i bangkit melakukan perlawanan. “Kalian datang kesini bukan untuk berperang tetapi berdakwah, jangankan kita, Rasulullah shalallahu’alahi wasalam saja ketika datang ke thoif di lempar hingga berdarah-darah. Inilah konsekuansi dakwah. Tugas kalian bukan melawan mereka tapi cabut tombak ini dari betis saya”, ujar ustadz Fadlan. Setelah tombak dicabut dan betis diikat dengan baju langsung di larikan ke rumah sakit. Beliau harus tinggal dirumah sakit selama 3 bulan dan dakwah terpaksa terhenti.

Setelah luka ustadz Fadlan sembuh, kembali menyerukan bahwa “tidak ada alasan lain kecuali kembali kekampung itu”. “Kan ustadz sudah di tombak, buat apa kita ke sana lagi”, jawab teman-temannya. “Kita bukan membangun permusuhan tapi kita berdakwah” jawab sang ustadz. Akhirnya mereka mendatangi kembali daerah itu. Dan lagi-lagi yang pertama mereka ingin temui adalah kepala suku. Setelah sampai dirumah tempat beliau dilukai dan meminta izin, keluarlah anak tertua dari kepala suku. Tanya ustadz Fadlan “bapak kepala suku ada dimana”?, “bapak kepala suku terserang penyakit malaria, kami ingin kekota tapi tidak ada uang dan juga kendaraan tidak ada”, jawab anak kepala suku. Berkata ustadz Fadlan “ini saya datang untuk menjemput kepala suku ke rumah sakit”, “bapak kan sudah di tombak beberapa waktu yang lalu” sang anak menjawab. “Urusan tombak itu lain, sekarang kita selamatkan bapak kepala suku dulu” ujar ustadz Fadlan. Setelah meminta izin dari istri kepala suku, alhamdulillah, kepala suku dibawa ke rumah sakit dan biaya semua di tanggung oleh ustadz Fadlan dan para da’i. Setelah dua pekan di rawat dirumah sakit, alhamdulillah penyakitnya sembuh. Kemudian diantar kembali kerumahnya dan para da’i juga menyubangkan sejumlah sembako untuk keluarga kepala suku.

Satu minggu kemudian mereka mulai berdakwah. Alhamdulillah, baru 3 hari berdakwah, hidayah menyapa kepala suku dan istrinya beserta 13 anaknya ditambah 15 kepala keluarga di daearah itu. Jaya Pura ribut kembali. Ustadz Fadlan di cari lagi kemudian ditangkap dan di masukan kedalam penjara tanpa proses selama 6 bulan.

Setelah keluar dari penjara, ustadz Fadlah kembali menyemangati teman-temannya dengan berkata “dakwah harus terus berjalan. Dakwah tidak boleh berhenti. Dakwah seperti air yang mengalir, kapan air kehabisan di muka bumi maka penduduk bumi akan kehausan”. Mulailah mereka berangkat kedaerah lain, alhamdulillah, setelah 2 bulan berdakwah 30 kepala keluarga di sapa oleh hidayah. Jaya Pura pun kembali ribut, ustadz Fadlan di cari lagi kemudian di masukan kedalam penjara tanpa melalui proses selama 9 bulan.

Dihari terkhir dalam penjara, orang yang biasa menangkap ustadz Fadlan datang untuk membuka gembok penjara dan berkata “ruangan ini tidak ada orang lain yang masuk kecuali anda, tiap hari, minggu, bulan selalu saja anda, kenapa anda tidak takut dengan penjara ini”?. Di jawab “abang, saya bukan maling, saya bukan pembunuh, saya bukan penjahat, dan saya juga bukan pemberontak, saya hanya ingin mencerdaskan saudara-saudara saya, untuk memuji Allah ta’ala dan mengikuti Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam. Silahkan abang borgol saya kembali, tapi saya beritahu abang, bahwa “orang seperti abang suatu saat akan di tangkap oleh Allah ta’ala dan di siksa, karena abang salah menangkap orang”. Rupanya, perkataan ustadz Fadlan membuat orang itu ketakutan dan berkata “jangan kau kasi takut-takut saya”. Dengan ketakutannya itu akhirnya Ia membawa ustadz Fadlan kerumahnya. Kemudian orang itu mengajak istri juga 5 anaknya dan mempersilahkan ustadz Fadlan bercerita tentang islam. Akhirnya 8 jam kemudian keluarga ini mengucapkan 2 kalimat syahadat, alhamdulillah.

Sasaran objek dakwah selanjutnya adalah masyarakat di tengah hutan yang jaraknya cukup jauh. Karena belum ada fasilitas dakwah yang mereka punyai waktu itu, maka mau tidak mau harus menempuhnya dengan berjalan kaki. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai di tempat tujuan adalah sekitar 30 hari. Ketika sudah satu bulan perjalanan, mulai bengkak betis para da’i dan sudah tidak bisa di angkat tinggi-tinggi ketika melangkah. Kemudian mereka berkata kepada ustadz Fadlan “ustadz kalau kita memaksa diri untuk melanjutkan perjalan, belum berdakwah tenaga sudah habis sehingga orang akan mengancam kita”. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali. Sehingga selama 2 bulan dakwah tidak berjalan.

Mulai berfikir ustadz Fadlan, bagaimana caranya agar bisa sampai di daerah itu?. Akhirnya beliau meminta kepala desa untuk mengganti foto-foto mereka dengan hitam putih dan merubah nama-nama mereka. Tajudin diganti dengan Markus, Zainal Abidin diganti dengan Yohanes, Jamaluddin diganti dengan Paulus dan Fadlan diganti dengan Leo. Dengan cara inilah, sehingga mereka bisa membeli tiket pesawat misionaris. Sehari sebelum keberangkatan mereka telah mempersiapkan modal dakwah berupa sabun 7 karton, sampo 7 karton, odol dan sikit gigi 7 karton, dan pakaian 7 karung.

Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit sampailah mereka ke lokasi yang di tuju. Disambut oleh penduduk setempat dengan kondisi yang sangat mencabik-cabik hati yaitu mereka tidak berpakaian kecuali hanya dengan mengenakan koteka. Melihat keadaan ini Ustadz Fadlan mengatakan kepada teman-temannya “satu pekan ini kita tidak berdakwah tetapi melakukan pendekatan dengan mereka dan mencari tahu kenapa mereka sampai tidak perpakaian dan mereka siapa sebenarnya”.

Ketika keakraban sudah mulai terjalin, ustadz Fadlan bertanya kepada kepala suku “mengapa bapak-bapak sampai tidak berpakaian seperti ini”?. Di jawab “bahwa mereka dilarang oleh misionaris untuk berpakaian dan mereka juga dilarang mandi dengan air bersih, mereka hanya boleh mandi dengan minyak hasil bakaran babi dengan cara menggosok-gosokkannya di badan”. Wanita-wanita yang melahirkan hanya menggunakan batu tajam untuk memutuskan plasentanya. Kemudian ibu manusia dilarang menyusui anaknya dari asi sebelah kanan, mereka hanya di perbolehkan menyusui pada asi bagian kiri karena asi bagian kanan di pakai untuk menete babi. Tujuan misionaris melakukan hal itu adalah mencari keuntungan dengan membuat proposal dan memfitnah pemerintah Indonesia pada Austaralia dan Eropa, bahwa Indonesia tidak berkeinginan membangun Papua. Padahal APBN tipa tahun selalu di kirimkan.

Ustadz Fadlan mengatakan “tidak ada agama lain yang bisa merubah keadaan ini kecuali hanya dengan agama islam, dan tidak ada cara lain dalam islam untuk merubahnya kecuali dengan dakwah”. Hasil tadabur ustadz Fadlan pada ayat 125 surah an nahl, bahwa cara dakwah yang mesti di tempuh kali ini adalah dakwak dengan menggunakan sabun mandi.

Minggu kedua hari pertama dakwah dimulai dengan membawa kepala suku kesungai, untuk diajari mandi dengan meggunakan sabun. Ustadz Fadlan mengatakan “bapak kepala suku, ikuti gerakan kami”, begitu sabun di gosok kekanan kepala suku juga menggosok kekanan dan jika kesebalah kiri kepala suku juga ikut. Kemudian di berikan sampo, dan ketika mengeramas rabutnya dengan sampo tiba-tiba busanya mengenai hidungnya. Setelah mencium bau harum itu, Ia langsung pergi dan tidak mau bilas dengan air. Begitu Ia jalan para da’i mengatakan “bapak kepala suku, harus disiram dengan air”, kepala suku menjawab “tidak anak, ini harum”. Enam hari berturut-turut Ia mandi tapi tidak pernah di bilas. Kena matahari busa sampo mengering. Ia kemudian kekebun seperti biasa seorang petani. Jam dua siang Ia pulang dari kebun dan diperjalanan Allah ta’ala turunkan rahmatnya berupa hujan, akhirnya sampo yang mengering, kembali berbusa, Ia gosok-gosok sampai hilang busanya. Allah ta’ala ganti dengan kesegaran jasmani. Sampai dirumah tidur dari jam 3 sore sampai jam 9 pagi hari berikutnya.

Pagi-pagi para da’i datang kerumah kepala suku. Kepala suku berkata “anak, mandi yang benar itu yang anak ajarkan, bapak kemarin di mandikan oleh Sang Pencipta sehingga bapak tidur menjadi enak, selama ini bapak belum pernah tidur enak seperti tadi malam”. Ohh… bagaimana bapak pagi ini pergi mandi bersama kami ? dengan senang hati Ia ikut kesungai. Resmi bilas kemudian pergi tidur dari jam 10 pagi hingga jam 3 sore. Ketika bangun, pencerahan dan kecerdasan mulai muncul. Kamudian Ia turun kemasyarakat untuk berkampanye.

Esok paginya, masyarakat berkumpul di lapangan dekat sungai sebanyak 3712 orang. Tua, muda, besar, kecil, laki-laki, dan wanita berkumpul untuk belajar mandi dengan menggunakan sabun mandi yang di bawa oleh para da’i itu. Tujuh karton sabun yang di bawa ternyata tidak cukup, terpaksa satu sabun harus di potong-potong menjadi 4 bagian.

Pelajaran mandi di mulai dari jam 8 pagi hingga waktu zhuhur tiba belum selesai dan waktu belajar di hentikam sementara. “Yang sudah mandi jangan pulang dan juga yang belum mandi jangan pulang, tunggu sampai kami selesai shalat, nanti di lanjutkan pelajaran mandinya” ujar sang usatadz kepada masyarakat.

Satu minggu sebelumnya mereka sudah membuat panggung untuk shalat, mereka tidak bisa shalat di tanah karena banyak sekali babi. Setelah wudhu mereka langsung naik ke panggung dan masyarakat tetap di bawah. Ketika shalat di mulai dengan ucapan takbir imam dan diikuti 19 jamaah, serentak membuat masyarakat berdiri dan berjalan mengelilingi panggun, seakan-akan mereka tawaf. Mereka lakukan itu ternyata untuk mengamati gerakan-gerakan shalat yang di lakukan oleh para da’i. Setelah imam mengucapakan salam ke kanan dan ke kiri pertanda shalat telah usai, kepala suku besar langsung loncat ke panggung dan duduk di depan imam sambil mengajukan beberapa pertanyaan. “Anak, kenapa anak dengan teman-teman berdiri angkat tangan dan mulutnya bicara-bicara, itu kenapa?”. Pertanyaan itu sempat membuat sang ustadz kebingungan, kira-kira jawaban apa yang cocok untuk mereka dengar. Alhamdulillah, ilham datang dari Allah ta’ala dengan beberapa jawaban. Kemudian ustadz Fadlan menjawab “bapak kepala suku, mama-mama, dan masyarakat, kami 20 orang ini agama islam. Dalam agama, kami di perintahkan Tuhan kami Allah Sang Pencipta, untuk menghadap kepada-Nya 5 kali dalam sehari. Kami berdiri dan mengangkat tangan itu artinya kami menyerahkan sepenuhnya diri, jiwa dan kehidupan kami kepada Tuhan kami Allah ta’ala. Kami bicara-bicara itu dengan Allah Yang Maha Besar. Diri kami dan kehidupan kami kecil dan kami malu, sehingga tangan menutup dada kami artinya “terserah Allah ta’ala”, mau menghukum kami terserah, dan mau memberikan kami hadiah terserah, karena kami sudah menyerahkan sepenuhnya jiwa raga dan kehidupan kami kapada Allah ta’ala”. Mendengar penjelasan itu, kapala suku mengatakan “ohhhh, ini agama yang benar”. Kemudian bertanya lagi “tapi kenapa sesudah itu anak dan teman-teman bongkok badan, apa itu artinya?”. Rukuk Ia bilang dengan bongkok badan, sang Ustadz pun menjawab “kami bongkok badan itu supaya melihat di bumi ada pasir, ada tanah, ada air, ada hewan, dan ada tumbuhan, itu semua fasilitas dari Allah ta’ala untuk manusia agar di nikmati, dan di lindungi karena masih ada manusia berikutnya. “Ohhhhh, ini agama yang benar”.

Tapi kenapa sesudah itu anak dan teman-teman tunduk mencium papan, apalagi artinya itu?, dijawab “kami tunduk mencium papan pertanda kami menangis atas kejahatan dan dosa yang kami lakukan, karena kami akan mati, sehingga kulit, daging, darah, dan tulang-tulang akan di lebur menjadi tanah. Sebelum itu semua di lebur, kami manyatukan telapak tangan, kepala, lutut, dan kaki, menangis meminta ampun kepada Allah Yang Maha Tinggi”. “Tapi kenapa sesudah itu anak dengan teman-teman lihat di sebelah kanan mulutnya masih bicara-bicara dan kesebelah kiri juga begitu” tanyanya lagi. Ustadz menjawab “kalau kami tadi mengangkat tangan, menyerahkan sepenuhnya jiwa raga dan kehidupan kami kepada Allah ta’ala, bongkok badan untuk melihat apa yang di berikan oleh Allah ta’ala, sesudah itu kami meminta ampun. Selesai meminta ampun, kami lihat di sebelah kanan, bahwa kalau di tempat ini belum ada yang tahu mandi dan kami datang untuk mengajarkan cara mandi. Melihat di sebelah kanan, bahwa di tempat ini belum ada yang berpakaian dan tugas kami mencarikan pakaian untuk menutupi badan mereka. Jika ada yang lapar, tugas kami mencarikan makanan, ada yang sakit tugas kami mencarikan obat. Setelah itu melihat kesebelah kiri, bahwa kalau di tempat ini belum mengenal Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Kami datang untuk memperkenalkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya kepada mereka.

Setelah kepala suku mendengar penjelasan ustadz Fadlan dari beberapa pertanyaan yang diajukan, Ia meminta 20 orang da’i itu untuk turun dari panggung dan memanggil 6 kepala suku untuk kepanggung membahas kehadiran para da’i itu. Setelah rapat, kapala suku berdiri dan menyampaikan pengumuman, “hari ini kita senang, anak-anak ini sudah datang membawa dan mengajarkan agama yang benar. Dalam rapat adat, kami sepakat bahwa kita semua yang ada di sini untuk mengikuti agama anak-anak ini”. Begitu mendengar pengumuman itu para da’i sujud syukur dan menangis.

Mulailah ustadz Fadlan membimbing mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengatakan kepada mereka “ikuti kata-kata saya”. Tetapi sang Ustadz di saat itu tidak sanggup karena tangisan. Ustadz Fadlan mengucapkan (dua kalimat syahadat)
“أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله”

Kemudian berdo’a :
Yaa Allah, mereka dalam keadaan telanjang, yaa Allah, mereka dalam keadaan bau badan, miskin, dan bodoh, hari ini dakwah tiba di hati mereka, hari ini dakwah sampai di negeri mereka, jaga dakwah ini, peliharalah hati mereka dengan agama ini.

3712 orang pun menyebut nama Allah Yang Maha Besar dan Rasul-Nya. Setelah syahadat, proyek selanjutnya adalah menggati nama-nama mereka dengan nama yang islami. Kemudian di lanjutkan dengan khitanan masal yang dimulai dari anak kecil hingga orang tua, di bantu oleh Letnan Kolonel Dr. Mulya Tarmizi dari angkatan laut yang bekerja sama dengan angkatan laut Makassar. Terbang untuk menkhitan saudara-saudara kita di timur Indonesia.
Alhamdulillah.

Makassar, 10 Maret 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja yang Semu dan Sesaat

Semangat yang Terpatahkan

Memburu Beasiswa Kerajaan Saudi Arabia